buah pikiranwaktu kuliah dulu

Membuat SIM di Kota Padang (Part 2)

Karena kemarin kami gagal ujian praktek, maka dengan bekal motor pinjaman Honda Vario kami kembali melangkahkan kaki mengayunkan tangan menuju Poltabes Padang untuk melaksanakan ujian praktek SIM. Kalau kita gagal ujian praktek maka disuruh untuk mengulang seminggu kemudian.

Sebelum menemui penguji kemarin, kami latihan dulu di arena ujian praktek dan ini membuat kami menjadi pusat perhatian, kenapa? Karena hanya kami yang melakukannya. Setelah persiapan dirasakan mantap maka kami pun menemui bang Amil untuk diuji kembali kepandaian dalam mengemudikan sepeda motor.

Ujian prakteknya sih gampang saja, kita diminta untuk melintas dan menikung di jalan yang sempit dan zig zag. Sebenarnya masih banyak lagi cumin kami hanya diuji 25% dari keseluruhan ujian praktek.

Kepala pengawas ujian bernama pak Krismanto dan beliau sempat bercerita mengenai ujian praktek ini. Kenapa peserta diminta untuk membawa motor sendiri, karena menurut penuturan beliau ini adalah masalah mental. Banyak yang gagal atau merasa gagal hanya karena melihat motor ujian praktek yang warnanya putih-putih. Bahkan ada juga yang baru melihat polisi sudah grogi dan jatuh dari motor. Dengan menggunakan motor sendiri diharapkan peserta lebih sejiwa dengan motornya (masa sih?) dan bisa menyelamatkan harta bendanya, yaitu motornya sendiri.

Beliau juga berpendapat kualitas manusia sekarang semakin lemah, ini bisa saja disebabkan karena banyaknya kemudahan yang didapatkan sehingga mereka menjadi tidak tangguh, gampang marah dan menyerah. Seperti soal fasilitas dan makanan, tentu saja ini masih dapat diperdebatkan, namun demikian Yudha iyakan saja…toh tidak ada masalah dengan itu, yang penting ujian praktek selesai.

Sebenarnya ada banyak yang diujikan pada ujian prakter, antara lain melintas dan menikung di jalan yang sempit, zig zag, membuat angka 8 yang semuanya harus dilakukan tanpa kaki harus menyentuh tanah. Kalau Yudha lihat di formnya, setidaknya ada 7 macam ujian, baik untuk motor tanpa kopling ataupun motor dengan kopling. Tapi ya itu tadi, kami hanya diuji 25% dari keseluruhan.

Setelah selesai ujian praktek, langkah selanjutnya adalah berphoto dan ini merupakan bagian yang cukup lama. Banyak sekali orang yang mengantri menunggu giliran kapan namanya dipanggil untuk diambil photonya. Seraya menunggu Yudha sempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan orang lain.

Ternyata banyak juga dari mereka yang membuat SIM perdana tanpa ikut serta dalam ujian, terutama ujian praktek, wah parah..jasa calo masih berjalan. Walaupun disana ada poster yang bertuliskan “Kalau ada petugas yang melayani, kenapa harus pakai calo?” …yee…yang jadi masalah adalah petugas itu juga mau menjadi calo. Tergantung lobi dan negoisasi, apakah pakai ujian segala atau tinggal photo saja, yang jelas harga yang dibayarkan harus pas. Dasar.

Sesi Photo SIM

Akhirnya nama dipanggil juga untuk pengambilan photo. Ternyata dalam satu kali pemanggilan dipanggil 30 nama untuk masuk ke dalam ruang photo, padahal ukuran ruangannya hanya sekitar 3×6 meter. Di dalam sudah ada 2 orang petugas yang sedang duduk di depan komputer. Komputernya ada tiga tapi karena petugasnya hanya ada 2, maka hanya 2 komputer yang digunakan. Masing-masing komputer memiliki webcam. Disana ada sebuah meja panjang tempat komputer dan 6 buah kursi, serta mesin sidik jari dan tanda tangan elektornik.

Proses selanjutnya adalah kita diminta duduk di depan webcam, ditanyai nama, pekerjaan, nama orang tua, alamat (petugasnya ngetiknya cepat banget). Selesai itu kita diminta sidik jari. Yang pertama empat jari kiri kecuali jempol, lalu keempat jari kanan kecuali jempol, lalu jempol kanan dan kiri. Setelah itu tanda tangan di mesin tandatangan elektronik, dan terakhir adalah pengambilan photo.

“Liat ke kamera dek!” kata petugas, kaca mata dilepas dan Yudha pun melihat ke kamera, geser dikit katanya, dan klik….photo wajah Yudha pun diambil. Karena ada masalah jaringan, jadi SIMnya diambil besok. Jadi tidak sabar nih…bagaimana wajah Yudha di SIM.

Keesokan harinya Yudha dan Opung kembali ke Poltabes, naik angkot. Turun di Kantor Pos dan melangkahkan kaki dan mengayunkan tangan menuju Poltabes, ternyata di Poltabes sedang ada acara, tapi peduli apa, yang penting dapatkan SIM.

Dan voila….SIM kami ambil dan ternyata photo Yudha di SIM lebih mirip kriminil, jelek banget…hahaha….tapi sudahlah…yang penting niat sampai. Begitu ada yang nanya berapa duit yang kami habiskan untuk membuat SIM, kami bilang Rp 100.000,- banyak yang terkejut, kok bisa, kami jawab kami melalui prosedur yang berlaku. Berapa lama? Karena kami gagal ujian teori maka agak tertunda selama seminggu.

Ternyata masyarakat kita sudah terbiasa dengan yang instant, katanya butuh cepat, tapi menghalalkan segala cara, itu sih bukan butuh cepat…tapi instant. Aneh…tapi betul juga kata Pak Krismanto…daya tahan untuk berusaha mendapatkan sesuatu itu semakin lemah, sehingga segalanya ingin dipermudah saja walaupun harus melanggar aturan. Dan kenapa jika kita melakukannya dengan cara yang sesuai aturan harus ditertawakan?

            Jadi kalau ada aktivis yang buat SIM tidak dengan aturan yang sebenarnya berarti dia sama dengan kambiang…berkoar-koar tentang kebenaran dan idealisme di kampus tapi menyerah pada kondisi di luar kampus…kambiang bana….idealisme memang harus dijaga, dan dipelihara walaupun kita tidak dikampus. Bukankah pembuktian idealisme itu ditengah masyarakat? Bukan di menara gading tempat belajar yang namanya kampus.

sebelumnya

12 Jan 2011

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *